Seorang pria dari Inggris mengalami penyakit aneh bernama "Electromagnetic HyperSensitivity". Akibatnya, dia menderita berbagai macam kesakitan ketika terekspos radiasi dari gelombang jaringan nirkabel (WiFi), telepon genggam, oven microwave, dan menara BTS.
Ironisnya, pria bernama Phil Inkley tersebut tadinya adalah teknisi komputer dan audio yang sering bekerja di sekeliling komputer dan benda-benda teknologi lainnya. Semua itu berubah ketika komunikasi wireless mulai berkembang.
Begitu berada di dekat benda yang mentransmisikan gelombang elektromagnetik, pria berusia 36 tahun ini mengalami berbagai macam gejala penyakitnya seperti sakit kepala hebat, denyut jantung tidak teratur, sulit tidur, kejang-kejang, dan mimisan.
Dokter yang dikunjunginya khawatir Phil mengalami tumor atau pendarahan di otak dan menyarankan pemindaian kepala dengan MRI (magnetic resonance imaging), namun Phil menolak dengan alasan pemindaian seperti itu bisa membuatnya sakit lebih parah lagi.
Tak tahan dengan sakit yang dideritanya, Phil memilih mengasingkan diri ke tengah hutan di Hampshire, Inggris. Dia tinggal di sebuah karavan yang dibeli secara patungan oleh teman-temannya. "Saya berpikir bahwa inilah satu-satunya cara untuk mengontrol sakit-sakit itu dan menyelamatkan hidup saya," ujarnya.
Tujuh tahun lalu, Phil bekerja sebagai teknisi audio dan produser musik. "Dari sejak kecil saya suka dengan teknologi. Saya sering memperbaiki komputer milik saudara dan teman-teman. Semuanya baik-baik saja sampai teknologi wireless mulai muncul."
Karena penyakitnya itu, Phil tidak bisa berhubungan dengan teman-temannya atau melakukan aktivitas lain seperti pergi ke pub karena di kota banyak orang yang memakai telepon genggam. Jaringan WiFi pun diterapkan di banyak tempat seperti kafe-kafe.
"Bagian terberatnya (dari hidup di tengah hutan) adalah kehilangan teman-teman saya, tak punya kehidupan sosial atau kehidupan cinta. Saya hidup dalam isolasi."
Phil bukan satu-satunya orang yang mengalami hal tersebut. Dua perempuan Perancis bernama Anne Cautain dan Bernadette Touloumond pernah tinggal di gua selama tiga tahun gara-gara menderita Electromagnetic HyperSensitivity.
Di Inggris sendiri Electromagnetic HyperSensitivity belum diterima sebagai kondisi medis karena sejumlah pihak masih skeptis mengenai keberadaannya. Meski demikian, sejumlah penelitian telah menemukan bahwa sebanyak 3-5 persen anggota masyarakat sensitif terhadap gelombang elektromagnetik.
Sebagian kecil di antaranya sangat sensitif. Sementara 20 hingga 30 persen populasi boleh jadi sedikit menderita gejala tetapi tidak menyadarinya.
Dokter Andrew Tresidder dari Somerset juga menderita akibat sensitif terhadap gelombang elektromagnetik -meskipun penyakitnya itu belum diakui secara medis.
Dia mengatakan bahwa banyak penelitian ilmiah telah menemukan bahwa gelombang elektromagnetik memiliki efek negatif terhadap sistem biologis, termasuk pada manusia. Akan tetapi lembaga-lembaga pemerintah saat ini disebutnya masih menganggap bahwa penyakit itu disebabkan oleh faktor psikologis.
"Dalam lima tahun ke depan, mungkin kita akan melihat ke belakang dan baru menyadari bahwa sebuah malapetaka kesehatan telah terjadi persis di depan hidung kita," ujarnya.
Phil Inkley hidup tanpa ponsel, WiFi, atau benda-benda lainnya yang memancarkan gelombang elektromagnetik (gambar: Caters News Agency/ Daily Mail) |
Ironisnya, pria bernama Phil Inkley tersebut tadinya adalah teknisi komputer dan audio yang sering bekerja di sekeliling komputer dan benda-benda teknologi lainnya. Semua itu berubah ketika komunikasi wireless mulai berkembang.
Begitu berada di dekat benda yang mentransmisikan gelombang elektromagnetik, pria berusia 36 tahun ini mengalami berbagai macam gejala penyakitnya seperti sakit kepala hebat, denyut jantung tidak teratur, sulit tidur, kejang-kejang, dan mimisan.
Dokter yang dikunjunginya khawatir Phil mengalami tumor atau pendarahan di otak dan menyarankan pemindaian kepala dengan MRI (magnetic resonance imaging), namun Phil menolak dengan alasan pemindaian seperti itu bisa membuatnya sakit lebih parah lagi.
Tak tahan dengan sakit yang dideritanya, Phil memilih mengasingkan diri ke tengah hutan di Hampshire, Inggris. Dia tinggal di sebuah karavan yang dibeli secara patungan oleh teman-temannya. "Saya berpikir bahwa inilah satu-satunya cara untuk mengontrol sakit-sakit itu dan menyelamatkan hidup saya," ujarnya.
Tujuh tahun lalu, Phil bekerja sebagai teknisi audio dan produser musik. "Dari sejak kecil saya suka dengan teknologi. Saya sering memperbaiki komputer milik saudara dan teman-teman. Semuanya baik-baik saja sampai teknologi wireless mulai muncul."
Karena penyakitnya itu, Phil tidak bisa berhubungan dengan teman-temannya atau melakukan aktivitas lain seperti pergi ke pub karena di kota banyak orang yang memakai telepon genggam. Jaringan WiFi pun diterapkan di banyak tempat seperti kafe-kafe.
"Bagian terberatnya (dari hidup di tengah hutan) adalah kehilangan teman-teman saya, tak punya kehidupan sosial atau kehidupan cinta. Saya hidup dalam isolasi."
Phil bukan satu-satunya orang yang mengalami hal tersebut. Dua perempuan Perancis bernama Anne Cautain dan Bernadette Touloumond pernah tinggal di gua selama tiga tahun gara-gara menderita Electromagnetic HyperSensitivity.
Di Inggris sendiri Electromagnetic HyperSensitivity belum diterima sebagai kondisi medis karena sejumlah pihak masih skeptis mengenai keberadaannya. Meski demikian, sejumlah penelitian telah menemukan bahwa sebanyak 3-5 persen anggota masyarakat sensitif terhadap gelombang elektromagnetik.
Sebagian kecil di antaranya sangat sensitif. Sementara 20 hingga 30 persen populasi boleh jadi sedikit menderita gejala tetapi tidak menyadarinya.
Dokter Andrew Tresidder dari Somerset juga menderita akibat sensitif terhadap gelombang elektromagnetik -meskipun penyakitnya itu belum diakui secara medis.
Dia mengatakan bahwa banyak penelitian ilmiah telah menemukan bahwa gelombang elektromagnetik memiliki efek negatif terhadap sistem biologis, termasuk pada manusia. Akan tetapi lembaga-lembaga pemerintah saat ini disebutnya masih menganggap bahwa penyakit itu disebabkan oleh faktor psikologis.
"Dalam lima tahun ke depan, mungkin kita akan melihat ke belakang dan baru menyadari bahwa sebuah malapetaka kesehatan telah terjadi persis di depan hidung kita," ujarnya.
Sumber : Kompas
Electromagnetic HyperSensitivity - Alergi Teknologi, Teknisi Komputer Pilih Tinggal di Hutan
Reviewed by Unknown
on
12:27 AM
Rating:
No comments: